Air mata menggenang di ujung kelopak mata ku. Tak sadar mulai menetes membasahi pipi. Aku masih termangu duduk di teras rumah. Sekali lagi ku pandangi dan baca perlahan isi sms Aisyah di hp. “Hahaha…Gha, kamu itu sahabat ku. Sayang aku sama kamu tak lebih dan tak kurang dari sekedar sahabat. Jangan sampe ya kamu berubah jadi suamiku kelak. Kayaknya gak mungkin deh Gha.”
Ya, selama ini Aisyah yang ku kenal adalah seorang gadis yang sangat cantik, ramah dan cair dengan semua orang. Entah apa yang membuat aku tertarik padanya. Sepertinya aku adalah lelaki kesekian yang tertarik padanya. Dia selalu ada di saat aku membutuhkan teman, dia selalu ada ketika semua orang menyudutkan dan tidak mempercayaiku, dia selalu ada ketika seluruh isi dunia ini membuat aku merasa seperti budak. Dia lah yang membuat ku selalu sabar dalam menghadapi semua cobaan.
Aku masih duduk di teras rumah dengan butiran air mata yang masih perlahan berjatuhan, ku baca semua isi sms yang dia kirim. Beberapa waktu lalu dia mengatakan dalam smsnya bahwa dia bahagia punya sahabat seperti aku, beberapa waktu lalu dia mengatakan bahwa “Sahabat adalah seperti mata dan tangan. Ketika Tangan terluka maka mata akan menangis dan ketika mata menangis tangan akan menghapus air mata yang berjatuhan. Itulah sahabat.” Saat ini, mataku sedang menangis, apakah ada sepasang tangan sahabat yang menghapusnya?
Ah, sepertinya tidak perlu memikirkan hal itu. Terlalu jahat aku jika mengkhianati kepercayaan Aisyah yang mengganggap aku adalah sahabat terbaiknya. Seandainya dulu aku tidak satu sekolah dengannya, seandainya juga tidak satu kampus, dan seandainya tidak satu organisasi dengannya. Ya, seandainya tidak mengenalnya mungkin aku dengan mudah mengajukan proposal kepada guru ngajiku untuk dicarikan istri dengan ciri – ciri seperti dirinya. Dan mungkin saja dialah jodoh ku. Tapi, sekarang sepertinya itu tidak mungkin terjadi. Setelah sebuah sms masuk ke hp ku yang menyatakan sebuah perasaannya kepada ku.
“Gha, kayanya kalau aku nanti punya suami pasti dia tidak seperti kamu.” Sms itu cukup bisa membuat ku tersenyum penuh kemenangan.
“Emg knp Aisyah?” aku balas seolah – olah aku cuek sekali.
“Iya, kamu tw mknan kesukaan ku apa. Kamu tau tabiat kebiasaan aku gmn klo lg ngambek, kamu mengenal aku bgt, trus kmu jg bisa ngerti saat aku sedih. Sepertinya suamiku nanti gak gitu. Karna aku pengennya dicariin sama guru ngaji ku. Jd, aku blm tau sp dia nanti.”
“ya udh, klo gitu gmn klo aku aja yg jd suami mu? Hehehehehe….” Aku mencoba mengajaknya bercanda.
Dan ternyata benar, dia menanggapi itu sebagai sebuah guyonan walaupun sebenarnya aku mengharapkan jawaban yang berbeda darinya.
Ya, sms yang sekarang sedang ku baca adalah balasan dari Aisyah. Aku belum membalasnya dan berusaha menetralkan perasaanku.
“Gha, kok g bls sms ku?” smsnya masuk lagi.
“Eh iya Aisyah, sorry aku td lg ad yg dikerjain. Ya iyyalah aku g bakal mw jd suami kamu. Wong kamu bawel gitu kok! Moh aku!” aku mencoba menetralkan perasaan ku.
“Hahahaha….kaya kamu gak bawel aja gha…”
“Ih, gak lg. aku kan orgnya dewasa, gak kaya kamu!childish bgt. Udah ah Aisyah, ane mau pergi dulu ke rumah Bayu. Ada bisnis.” Sahutku sekenanya.
“Bisnis apaan?”
“Mau tau aja kamu urusan ikhwan.”
“Yee…. Sewot! Ya udah sana pergi, hati2 y gha….”
Sms terakhir ku abaikan untuk membalasnya. Walaupun hati bertanya lagi, apakah Aisyah benar – benar tidak memiliki perasaan selain persahabatan untuk diriku? Ah, sepertinya tidak. Aisyah memang seperti itu orangnya.
Tiga bulan sudah aku mencoba untuk mengabaikan perasaan itu, perasaan yang membuat aku menjadi tidak enak tidur. “Ya Allah, Ya Rabb… Engkau adalah yang memiliki hati ini. Aku mohon ampunan-Mu atas perasaan ini. Aku tidak sanggup ya Allah…. Ku berlindung pada-Mu dari perasaan dan rayuan nafsu dunia yang dihembuskan oleh syetan ini. Jangan sampai ini membuat aku terlena dan menjauh dari-Mu.” Dalam sujud panjangku dan setiap rakaat yang ku kerjakan di sepertiga tengah malam, ku selalu memohon ampunan kepada Rabb ku. Tak lupa dalam setiap shalat fardhu ku.
“Eh, Gha…. Lg ngpain?” sebuah sms masuk lagi ke hp ku.
“Lg ada syuro ikhwan nie…”
“Oops, afwan ganggu…. Gpp c, ane lg bahagia aja nie…rencananya mw bagi2 kbhagiaan sm kamu. Tp ntr aj dh hbs antm syuro. Ntr sms ane y klo dah slsai.”
“Yups.” Jawab ku singkat.
Aku sangat penasaran, apa yang sedang dialami oleh Aisyah, sehingga sepertinya dia sangat bahagia sekali.
Dua jam kemudian aku kembali sms dia. Seorang akhwat yang aku kagumi, seorang akhwat yang menjadi sahabatku sejak lama. Mulai dari dia sebelum hijrah menutup seluruh auratnya sampai sekarang Aisyah yang dulu telah banyak mengalami perubahan.
“Assalamu’alaikum, ukhti…. Ada apa? Td katanya mau berbagi kebahagiaan? Mank ad apa c?”
“Wa’alaikum salam…. Akhi…! Ana lg bahagia bgt nie…. Antm adalah org yg pertama ane kabarin. Hehehe…(ih gak enk manggilnya akhi-ukhti…gak biasa aku bilang gitu ke kamu Gha! Hehehehe…).” Isi sms yang masih menggantung itu masuk ke hp ku.
“Ya udah…. Buruan kasih tau…ada apa?” jawab ku singkat.
“ih…. Gak sbaran bgt c? iya-iya aku kasih tau. Tp, kamu jgn bilang2 dulu ke org lain y…”
“Iya…buruan…. Lama bgt c?”
“Iya bozz! Gini gha, selama ini aku gak ada cerita sama kamu ya mengenai diri ku. Sebenarnya tiga bulan yg lalu aku udah dip roses dengan guru ngajiku. Hehehe….dan Insya Allah, minggu depan aku mau nikah…hehehe…. Kamu WAJIB DATANG GHA! Hehehe…”
Lekat ku lihat isi sms itu dan ku baca berulang kali siapa tau aku salah baca. Hati ku mulai bergemuruh, sekujur tubuh mulai lemah, aliran darah seakan terhenti. Dan dadaku bergemuruh hebat. Tak ku sadari air mata mulai mengalir membasahi pipi. Aku tidak tahu harus berkata apa. Namun aku masih mencoba menetralkan isi hatiku. Tak pantas rasanya aku menangis hebat dan menyesali kenapa bukan aku saja yang jadi milik Aisyah? Mengingat aku adalah seorang ikhwan yang kata teman – teman “aku tangguh.” Seorang “Muhammad Agha Prasetyo” yang biasa dipanggil Agha sangat tidak pantas menangisi itu. Mengingat aku memiliki Allah Tuhan ku, yang mana aku yakini Dia selalu memberikan yang terbaik untukku. Namun…. Namun, aku rapuh saat ini. Aku mencoba mencari kata – kata yang tepat untuk membalas sms dari Aisyah, yang akan selamanya menjadi sahabat dan tidak akan pernah berubah menjadi istri ku.
“Alahmdulillah…. Aku ikut bahagia Aisyah, ternyata ada jg y yg mau sama kamu. Hehehe… bawel gitu orgnya…. Semoga aja nanti suami kamu bisa memahami kamu lebih baik dari aku. emang sp calonnya nih?“ sms itu aku kirimkan, sekedar menyelipkan sebuah senyuman.
“Ihhhhh…. Agha…. Kok gitu c? hmmm… yang pasti Insya Allah dia akan belajar memahami aku. Seperti kamu bisa ngertiin aku selama ini. Hehe…. Calonnya? Mau tau siapa? Ntr aja yah….SURPRISE!!!! hehehe…”
Aku hanya tersenyum melihat sms terakhir dari Aisyah. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya sahabatku diseberang sana.
Lima hari berlalu, aku menerima undangan Pernikahan Aisyah yang katanya special buat ku. Yang mana memang pada saat pernikahan tersebut hanya orang – orang terdekat yang diundangnya.
Ketika aku melihat isi undangan berwarna pink itu aku terkejut dengan nama mempelai prianya “Muhammad Dian Ridhani?” gumam ku pelan. Ya, aku mengenalnya, sangat mengenalnya. Dia adalah sahabat sewaktu SMP di daerah Balikpapan . Yang mana pada waktu aku kelas 2 SMP aku pindah sekolah. Waktu itu aku masih kontak – kontak dengannya melalui surat , namun tidak lama aku tidak berhubungan lagi dengannya. Dan sekarang, benarkah dia yang akan mendampingi Aisyah? “Aisyah Carollina Putri.” Gumamku pelan.
“Ya, Dhani memang lebih pantas buat Aisyah, aku ikhlas. Do’a Aisyah terkabul ingin mendapatkan suami yang sholeh, pengertian, penyabar dan yang pasti Dhani sangat TAMPAN.” Bisik ku dalam hati.
Hari pernikahan itu akhirnya datang juga. Aku merasakan suara gemuruh yang berlebihan dalam dadaku. Ku pandangi kedua mempelai yang sedang berbahagia itu, dan ku tangkap sebuah wajah yang cukup terkejut terpancar dari raut wajah Dhani.
“Hei, Agha?” tanyanya menyakinkan dan sangat surprise.
“Iya…. Dhani kan ? Hmmmm…. Ternyata kamu ya yang mendampingi Aisyah.” Sahutku sembari kembali menetralkan gemuruh dalam dada.
“lho, kalian sudah saling kenal?” Tanya Aisyah.
“Iya, dia sahabat ku sewaktu SMP.” Jelas Dhani kepada istrinya.
Aku hanya tersenyum ikhlas melihat kebahagiaan yang dialami oleh sahabat ku. Namun aku tidak pantas membencinya. Mereka sahabat terbaikku, kebahagian mereka adalah kebahigian aku juga. Biarlah ku pendam perasaan ini seorang diri, perasaan ku dengan Aisyah yang tak mungkin berubah menjadi istri tersayangku bidadari dunia akhiratku. Aku tahu, Allah telah menyiapkan bidadari yang pasti lebih baik dari Aisyah untukku. Namun entah kapan bidadari itu datang untukku. Semua aku serahkan kepada Allah saja. Dan akan selalu ku titipkan salam melalui Nya untuk bidadariku yang masih disimpan oleh Allah. Entah kapan Allah memberikan Surprise itu untukku.
Share this on your favourite network
0 comments:
Post a Comment